Beberapa hari yang lalu, ada satu topik di CFO Innovation Forum yang lumayan bikin gue kepikiran sampai beberapa hari lamanya. Saat tengah berlangsung diskusi tentang tips dan trik mempertahankan top talents; ada dua peserta yang mengajukan pertanyaan soal bagaimana caranya mempertahankan generasi Y alias generasi yang lahir tahun 80 sampai dengan 90-an. Ternyata menurut generasi sebelumnya, generasi Y itu identik dengan kreatif, ambisius, tetapi sangat mudah berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Sebagai satu dari sedikit peserta forum yang lahir di tahun 80-an, gue hanya senyum-senyum sendiri menyaksikan diskusi saat itu. Dalam diam gue berpikir…
“Is it a good or bad thing? And WHY? Why do we; the Y generation, tend to do that?”
Kalau menurut pendapat gue, kasus gue sendiri tidak sebegitu parahnya. Gue cuma pernah satu kali kerja di satu perusahaan kurang dari satu tahun, itu pun hanya pekerjaan freelance yang memang hanya ideal untuk mahasiswa yang masih harus menyelesaikan studinya. Segera setelah lulus sidang S1, gue langsung pindah ke pekerjaan yang dapat memberikan status karyawan permanen ketimbang hanya freelancer saja. Setelah itu, masa kerja gue kurang lebih selalu kisaran tiga tahun untuk masing-masing tiga perusahaan berikutnya. 
It’s not that bad, is it?
Meski menurut gue masa kerja gue masih wajar-wajar saja, kenyataannya memang, di mata generasi yang lebih tua pada umumnya, gue tetap termasuk golongan “kutu loncat”. Masih ok menurut teman-teman gue pada umumnya, tapi tetap dianggap terlalu cepat berpindah-pindah setidaknya di mata para orang tua di keluarga besar gue. Itu sebabnya gue jadi tergelitik untuk bertanya pada diri gue sendiri… kenapa? Kenapa generasi gue ini bisa sampai lebih dikenal sebagai kutu loncat yang bahkan bisa berganti pekerjaan dalam satu atau dua tahun sekali?
Berikut ini hasil observasi terbatas gue beberapa hari belakangan ini. Gue tidak bilang isi tulisan gue ini secara mutlak menggambarkan SEMUA orang yang termasuk dalam generasi Y, tapi setidaknya, poin-poin di bawah ini gue tulis berdasarkan pengalaman pribadi dan juga pengalaman orang-orang terdekat yang juga masuk ke dalam generasi Y. Semoga isi tulisan gue ini bisa jadi bahan instropeksi buat kita semua!
Generasi Y menyukai sesuatu yang instan
Gue cukup sering melihat generasi Y yang memutuskan untuk pindah kerja hanya demi mendapatkan kenaikan pangkat atau minimal kenaikan gaji melebihi pekerjaan mereka sebelumnya. Pola pikir mereka, “Jika ada yang lebih cepat, kenapa tidak?” 
Generasi Y, disadari atau tidak, punya jiwa berkompetisi yang lebih tinggi
Selain faktor ingin serba instan, generasi Y cenderung lebih tidak mau kalah dengan teman-temannya sendiri. Ada rasa terpacu yang menggebu saat melihat teman-teman lain yang sudah duduk di level manajerial (atau bahkan level direksi!) di usia yang masih terbilang muda. Gue juga sering melihat generasi Y memutuskan resign hanya karena faktor kompetisi yang gue sebutkan di sini. Semacam pembuktian, “Kalau dia bisa, gue juga bisa!”
Generasi Y lebih mudah merasa jenuh
Kenapa semakin ke sini semakin banyak perusahaan yang memperbolehkan karyawannya berpindah dari satu divisi ke divisi lainnya? Karena generasi masa kini terkenal sangat mudah jenuh dengan pekerjaanya. Gue sendiri pun, satu dari sekian banyak generasi Y yang pernah meninggalkan pekerjaan yang katanya impian sejuta umat hanya karena merasa bosan dengan pekerjaan yang itu-itu saja.
Generasi Y lebih menjunjung tinggi hidup bahagia
Gue dan cukup banyak generasi Y lainnya punya prinsip mendasar bahwa hidup itu yang penting bahagia. Toleransi kita terhadap hal-hal yang dapat mengurangi kebahagiaan jadi terbilang sangat rendah. Jika pekerjaan kita saat ini tidak berhasil (atau tidak lagi) mendatangkan kebahagiaan yang kita inginkan, maka kita akan lebih memilih untuk mencoba peruntungan dengan mencari kebahagiaan itu di tempat lain di luar sana.
Generasi Y lebih suka “mengganti” daripada “memperbaiki”
Handphone sudah mulai sering hang? Ganti baru saja. Bos sudah mulai terasa sangat-sangat menyebalkan? Ganti bosnya saja! Cari perusahaan lain saja…
Generasi Y lebih “idealis”
Semakin ke sini, semakin banyak karyawan muda yang nekad resign meskipun masih belum mendapatkan pekerjaan pengganti. Gue akui bahwa dulu juga gue pernah melakukan hal yang sama. Padahal, pekerjaan yang gue tinggalkan sama sekali tidak sebegitu buruknya. Malah sebetulnya, gue sudah mendapatkan gaji dan tunjangan di atas rata-rata. Kenapa tetap resign juga? Karena idealisme. Karena ada satu atau dua hal dalam pekerjaan tersebut yang tidak sejalan dengan definisi pekerjaan ideal menurut versi gue ini.
Generasi Y lebih impulsif dan di saat yang bersamaan, bersifat lebih naif
Entah bagaimana, generasi Y cenderung lebih meyakini bahwa di luar sana, PASTI ada pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan kita saat ini. Kita seolah lupa bahwa tidak ada pekerjaan yang sempurna. Saking impulsifnya, tidak terpikir di benak kita bahwa kenyataannya, mau bekerja di manapun (bahkan jika kita berbisnis sendiri pun) tetap akan selalu ada hal-hal yang membuat kita merasa tidak tahan dan ingin “menyerah” saja.
Kesimpulannya? Generasi Y lebih mudah untuk menyerah!
Gue sering mendengar para generasi Y (termasuk gue sendiri) bilang begini, “Gue ngerasa pekerjaan gue ini udah jadi semacam comfort zone.”
Meski katanya penting untuk kita merasa nyaman dalam menjalani sesuatu, kenyataannya, istilah comfort zone justru identik dengan konotasi negatif. Terjebak dalam comfort zone seringkali dianggap mimpi buruk di mata generasi Y. Padahal bisa jadi sebetulnya, kita hanya sedang mencari-cari alasan untuk menyerah saja.
So? Is it good or is it bad?
Meski kedengarannya memang tidak enak (kesannya kok ya, generasi Y ini generasi yang lembek banget), menurut pendapat gue, tidak ada “benar dan salah” dari semua perilaku generasi Y yang gue sebutkan di atas. Gue akui bahwa kadang-kadang, menyerah kalah (bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga dalam hal-hal lainnya) bisa jadi pilihan terbaik yang gue miliki saat itu. Toh kenyataannya, gue tidak pernah menyesali keputusan gue untuk resign dari perusahaan-perusahaan gue sebelumnya. Gue bersyukur dengan semua pekerjaan yang pernah gue miliki, tapi gue juga mensyukuri keputusan gue untuk pindah ke pekerjaan selanjutnya.
Misalnya, gue bangga banget pernah kerja di EY. Mencantumkan EY di CV gue telah memberikan gue peluang untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan gue selanjutnya. Tapi, gue juga bersyukur gue tidak berlama-lama kerja di sana, karena ternyata, gue jauh lebih menyukai pekerjaan sebagai corporate finance daripada pekerjaan sebagai financial auditor.
Meskipun demikian, bukan berarti gue mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari menjadi kutu loncat. Sekali lagi, tidak ada “benar” dan “salah” yang sifatnya mutlak dalam topik yang satu ini. Semuanya harus kembali pada diri kita sendiri. Beda orang bisa beda kasusnya, tidak bisa disamaratakan. Lagipula sebetulnya, selama kami (para generasi Y) masih melompat-lompat dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, itu artinya, kami masih belum menyerah untuk mengejar mimpi.
Pada akhirnya, gue hanya bisa berusaha menanamkan pola pikir ini pada diri gue sendiri tiap kali gue dihadapi pada dilema ingin resign atau tetap di sini, “If I do this, will I be proud of myself for doing this?”
Ask that question, repeteadly, before making any decision.
Posted  on: March 19, 2017

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top

Inspirasi, tembalang, mahasiswa, matematika, universitas diponegoro,undip,organisasi,ikahimatika,semarang,indonesia,bisnis,info baru,2014,2015

Info kos tembalang, Info kos murah, Info kos mahasiswa undip murah, Info kos buat putri/cewek, Info kos buat putra/cowok,Info kos terbaru, Info terkini kos tembalang

Kost - kosan murah, Kost anak gaul, Kost enak dan nyaman, Kost -kosan dekat kampus, Kost-kosan rame, Kos buat mahasiswa, Kos daerah UNDIP, Rumah dan kos, Kost-kosan ideal